Cari Blog Ini

Kamis, 24 Maret 2011

Pengertian taqwa

    Para ulama telah berusaha memberikan definisi taqwa yang mudah dicerna. Al- Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa yang diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah. Taqwa juga berarti kewaspadaan, menjaga benar-benar perintah dan menjauhi larangan.
            Secara sepintas, definisi taqwa tersebut cukup sederhana, namun ternyata dalam konteks amal, sangat memerlukan upaya sungguh-sungguh untuk meraihnya. Seorang sahabat Rasul SAW, Ubay bin Ka’ab pernah memberikan gambaran yang jelas tentang hakikat taqwa. Pada waktu itu, Umar bin Khaththab bertanya kepada Ubay tentang apa itu taqwa. Ubay balik bertanya : “Apakah Anda tidak pernah berjalan di tempat yang penuh duri?” Umar menjawab : “Ya.” Ubay bertanya lagi : “Lalu Anda berbuat apa?” Umar menjawab: “Saya sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh menyelamatkan diri dari duri itu.” Ubay menimpali : “Itulah (contoh) taqwa.”
            Menghadapi duri di jalanan saja sudah takut, apalagi  menghadapi siksaan api neraka di akhirat kelak, seharusnya kita lebih takut lagi. Permasalahan yang dihadapi  biasanya adalah “duri” semacam apakah yang dihindari oleh orang-orang bertaqwa itu dan sejauh manakah kita mampu untuk menghindari “duri” itu.
            Definisi tentang taqwa menurut Al-Hasan Al-Bashri (yang juga diikuti dan disepakati  oleh para ulama) di atas, memberikan kejelasan bahwa duri yang menghadang para muttaqin adalah apa-apa yang diharamkan atau dilarang oleh Allah SWT. Oleh karena itu, kita seharusnya berjalan hati-hati, waspada, dan takut terhadap semua larangan Allah.
            Sungguh ironis, jika kita perhatikan istilah taqwa ini digunakan sebagai pajangan di bingkai persyaratan lembaga-lembaga formal. Misalnya, persyaratan untuk menjadi anggota MPR/DPR, presiden, atau jabatan-jabatan lain, adalah harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ternyata, setelah lolos sebagai pejabat, korupsi dan kolusi bertebaran di mana-mana. Arogansi, kesewenang-wenangan dan bentuk kejahatan lainnya malah semakin menggejala. Seperti itukah pejabat-pejabat bertaqwa sebagaimana yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan di negeri ini.
            Istilah taqwa memang sudah mulai kehilangan makna. Padahal, bagi kaum muslimin, paling sedikit satu kali dalam seminggu, dalam khutbah Jum’at, khatib mengajak untuk senantiasa meningkatkan iman dan taqwa kita. Dalam Al Qur’anul Karim,  banyak ayat yang memerintahkan kita untuk bertaqwa. Allah SWT menjanjikan bahwa sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi-Nya adalah manusia yang paling bertaqwa.
            Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyatakan bahwa orang bertaqwa adalah orang yang telah menjadikan tabir penjaga antara dirinya dan neraka. Pernyataan ulama besar salaf ini memiliki kandungan yang lebih spesifik lagi. Orang bertaqwa berarti dia telah mengetahui hal-hal apa saja yang menyebabkan Allah murka dan menghukumnya di neraka. Selain itu, ia juga harus mengetahui batasan-batasan (aturan-aturan) Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya.
Di sinilah peran penting dari perintah Rasul SAW untuk menuntut ilmu dari mulai lahir hingga liang lahat. Ketaqwaan sangat memerlukan landasan ilmu yang benar dan lurus, sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT sangat mencela kepada orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang batasan-batasan yang telah disampaikan kepada Rasul-Nya. Hal ini sejalan pula dengan firman Allah bahwa Alah akan meninggikan orang-orang berilmu beberapa derajat.
Dalam perjalanan meraih derajat taqwa diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu, bisikan syaithaniyah yang sangat halus dan sering membuat manusia terpedaya. Sikap istiqamah dalam memegang ajaran Allah sangat diperlukan guna menghantarkan kita menuju derajat taqwa.
Syekh Abdul Qadir pernah memberikan nasihat : ”Jadilah kamu bila bersama Allah tidak berhubungan dengan makhluk dan bila bersama dengan makhluk tidak bersama nafsu. Siapa saja yang tidak sedemikian rupa, maka tentu ia akan selalu diliputi syaitan dan segala urusannya melewati batas.”
Seseorang yang bertaqwa akan meninggalkan dosa-dosa, baik kecil maupun besar. Baginya dosa kecil dan dosa besar adalah sama-sama dosa. Ia tidak akan memandang remeh dosa-dosa kecil, karena gunung yang besar tersusun dari batu-batu yang kecil (kerikil). Dosa yang kecil, jika dilakukan terus-menerus akan berubah menjadi dosa besar.
Tidak hanya hal-hal yang menyebabkan dosa saja yang ditinggalkan oleh orang-orang bertaqwa, hal-hal yang tidak menyebabkan dosa pun, jika itu meragukan, maka ditinggalkan pula dengan penuh keikhlasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar